## Krisis Perbatasan Kamboja-Thailand 2025: Eskalasi Konflik, Dampak Politik, dan Upaya Perdamaian
Krisis perbatasan Kamboja-Thailand tahun 2025 merupakan konflik berdarah yang berakar dari sengketa teritorial yang telah berlangsung lama. Konflik ini menandai babak baru dalam perselisihan atas demarkasi perbatasan kedua negara, khususnya wilayah sekitar candi Hindu kuno Preah Vihear. Ketegangan yang memuncak pada Juli 2025, mengakibatkan korban jiwa di kedua belah pihak, pengungsian massal penduduk sipil, dan krisis politik di Thailand yang berujung pada pencopotan Perdana Menteri Paetongtarn Shinawatra. Artikel ini akan mengulas secara mendalam kronologi peristiwa, aktor kunci yang terlibat, dampak politik dan ekonomi, serta upaya perdamaian yang dilakukan untuk meredakan konflik.
**Akar Persengketaan: Perjanjian Franco-Siam dan Putusan Mahkamah Internasional**
Perselisihan ini bermula dari ambiguitas dalam demarkasi perbatasan yang ditetapkan dalam Perjanjian Franco-Siam tahun 1904 dan 1907. Perjanjian tersebut mendefinisikan sebagian perbatasan antara Kerajaan Siam (sekarang Thailand) dan Republik Ketiga Prancis, yang saat itu menguasai Indochina Prancis (termasuk Kamboja). Setelah kemerdekaan Kamboja pada tahun 1953, Mahkamah Internasional (ICJ) mengeluarkan putusan pada tahun 1962 yang menganugerahkan kedaulatan atas Candi Preah Vihear kepada Kamboja. Namun, wilayah sekitarnya tetap menjadi sengketa. Sentimen nasionalisme di kedua negara terus menyulut ketegangan, bahkan setelah putusan ICJ, memicu bentrokan militer mematikan selama krisis perbatasan Kamboja-Thailand tahun 2008-2011.
**Eskalasi Konflik: Dari Bentrokan Kecil Hingga Pertempuran Sengit**
Ketegangan kembali muncul pada 28 Mei 2025, dengan bentrokan singkat antara pasukan Kamboja dan Thailand di Segitiga Zamrud, yang mengakibatkan tewasnya seorang tentara Kamboja. Kedua belah pihak saling tuduh sebagai pihak yang memulai serangan. Ketegangan semakin meningkat pada 23 Juli, ketika seorang tentara Thailand kehilangan kakinya setelah menginjak ranjau darat PMN-2 di distrik Nam Yuen, Ubon Ratchathani. Pada 24 Juli, konflik bersenjata langsung pecah.
Pertempuran melibatkan penggunaan berbagai senjata, termasuk artileri berat, roket, dan serangan udara. Ratusan ribu warga sipil mengungsi, sementara kedua negara berhasil menguasai berbagai bagian perbatasan yang disengketakan. Gencatan senjata yang mulai berlaku pada 28 Juli memungkinkan negosiasi diplomatik, namun bentrokan bersenjata sporadis terus terjadi.
**Peran Aktor Kunci dan Dinamika Politik Dalam Negeri**
Konflik ini melibatkan sejumlah tokoh kunci, antara lain:
* **Dari pihak Thailand:** Perdana Menteri Paetongtarn Shinawatra (yang kemudian dicopot dari jabatannya), Menteri Pertahanan Phumtham Wechayachai, Jenderal Boonsin Padklang (Panglima Daerah Militer Kedua), dan sejumlah pejabat militer lainnya.
* **Dari pihak Kamboja:** Perdana Menteri Hun Manet, dan sejumlah pejabat militer tinggi.
Krisis ini juga memicu krisis politik di Thailand. Percakapan rahasia antara Perdana Menteri Paetongtarn Shinawatra dan Hun Sen yang bocor ke publik, menyebabkan gejolak politik yang signifikan. Pernyataan Paetongtarn yang dianggap merendahkan Angkatan Bersenjata Kerajaan Thailand (RTA) semakin memperparah situasi dan berujung pada pencopotannya dari jabatan. Peristiwa ini menyoroti kerentanan struktur kekuasaan di Thailand dan hubungan kompleks antara pemerintah sipil dan militer.
**Dampak Ekonomi dan Internasional**
Krisis perbatasan berdampak signifikan pada ekonomi Thailand. Indeks Bursa Saham Thailand mengalami penurunan drastis setelah bocornya rekaman percakapan Paetongtarn dan Hun Sen. Kepercayaan investor, baik domestik maupun internasional, terhadap stabilitas pemerintah Thailand menurun tajam. Penutupan perbatasan juga berdampak negatif pada perdagangan dan perekonomian lokal di wilayah perbatasan.
Konflik ini juga menarik perhatian internasional. Beberapa negara, termasuk Amerika Serikat, Tiongkok, dan Malaysia, menawarkan mediasi, namun Thailand awalnya menolak intervensi pihak ketiga. Peran Donald Trump dalam mediasi gencatan senjata juga menjadi sorotan.
**Upaya Perdamaian dan Gencatan Senjata**
Setelah beberapa hari pertempuran sengit, gencatan senjata akhirnya disepakati pada 28 Juli 2025, melalui mediasi Malaysia. Pertemuan tingkat tinggi antara pemimpin Thailand dan Kamboja di Putrajaya, Malaysia, menghasilkan kesepakatan gencatan senjata tanpa syarat. Namun, pelanggaran gencatan senjata dan tuduhan penggunaan senjata terlarang masih terus bermunculan, menandakan bahwa jalan menuju perdamaian masih panjang dan penuh tantangan. Pertemuan-pertemuan lanjutan di tingkat Komite Perbatasan Umum (GBC) terus dilakukan untuk menyelesaikan perselisihan secara damai dan memastikan implementasi perjanjian gencatan senjata secara efektif.
**Kesimpulan:**
Krisis perbatasan Kamboja-Thailand 2025 merupakan konflik kompleks yang sarat dengan dinamika politik, ekonomi, dan militer. Konflik ini menyoroti pentingnya manajemen perbatasan yang efektif, penyelesaian sengketa melalui jalur diplomatik, dan pentingnya kerjasama regional dalam menjaga perdamaian dan stabilitas di kawasan Asia Tenggara. Proses perdamaian pasca-gencatan senjata masih memerlukan upaya yang berkelanjutan dari kedua negara, dengan dukungan dari komunitas internasional, untuk memastikan penyelesaian permanen dan mencegah eskalasi konflik di masa depan.
**Kata Kunci:** Krisis Perbatasan Kamboja Thailand, Preah Vihear, Segitiga Zamrud, Paetongtarn Shinawatra, Hun Manet, gencatan senjata, konflik bersenjata, dampak politik, dampak ekonomi, mediasi internasional, Perjanjian Franco-Siam, Mahkamah Internasional, nasionalisme, ranjau darat, serangan udara, artileri, UN, ASEAN.