
Baru-baru ini muncul pernyataan “Purbaya Tolak Bayar Utang Kereta Cepat” menggelegar dari pejabat publik bernama Purbaya: “Mereka yang korup kok saya yang mikirin.” Ucapan itu memicu pro dan kontra di banyak kalangan pejabat negara apalagi dibarengi fakta bahwa proyek Kereta Cepat Jakarta–Bandung (Whoosh / KCJB) kini menjadi bom keuangan terbesar. Mari kita ulik bersama: seberapa gedhe utangnya, kenapa membengkak, dan siapa yang harus bertanggung jawab?
Berapa Total Utang Kereta Cepat?
Berikut Data Resmi Dari Media dan Pengelola Kas Negara :
- Proyek awal diproyeksikan senilai USD 6,02 miliar, namun akhirnya membengkak hingga USD 7,22 miliar.
- Angka utang kongkret yang diungkap: sekitar Rp 116 triliun (setara USD 7,2 miliar)
- Dari struktur pendanaan: ~ 75% utang dari China Development Bank (CDB) dan ~25% dari modal ekuitas konsorsium.
- Beban bunga tiap tahun saja disebut mencapai USD 120,9 juta (~ Rp 2 triliun)
- Utang cost overrun tambahan sebesar USD 1,2 miliar (≈ Rp 18 triliun) sudah mulai dicicil.
Jadi, utang total saat ini: ± USD 7,2 miliar (Rp 116 triliun), belum termasuk beban bunga selama bertahun-tahun dan biaya operasional, serta potensi beban tambahan dari restrukturisasi dan negosiasi utang. Secara Tegas Purbaya Tolak Utang Kereta cepat yang di Ajukan kepadanya dalam rapat keuangan negara.

Kenapa Utang Bisa Membengkak?
Beberapa faktor penyebab membengkaknya utang ini adalah:
Cost Overrun / Biaya Tambahan (Overbudget)
Proyek semula dirancang lebih murah, tetapi seiring berjalannya, muncul banyak kebutuhan tak terduga: kenaikan harga material, perang mata uang, kenaikan upah, serta masalah teknis dan rekayasa yang rumit di medan pegunungan dan kondisi tanah.
Keterlambatan Proyek & Hambatan Non-Teknis
Pembebasan lahan yang lambat, perizinan, litigasi, konflik sosial masyarakat, serta birokrasi menyebabkan delay panjang. Keterlambatan itu mengundang biaya tambahan (denda, pemasangan ulang, dan logistik lebih mahal).
Rencana Awal Terlalu Optimis & Underestimation
Banyak asumsi awal tampak terlalu optimis untuk progress penghasilan dari Transportasi tersebut, waktu penyelesaian yang lama, jalur teknik yang pada kenyataannya jauh berbeda. Dengan asumsi optimis itu, margin risiko tak cukup diperhitungkan.
Suku Bunga Pinjaman Tinggi & Bunga untuk Overrun
Utang pokok dikenai bunga ~2% per tahun, sedangkan utang cost overrun dikenai ~3,4% per tahun. Itu menambah beban bunga yang cukup besar.
Pendapatan Operasional yang Jauh dari Target
Pendapatan dari tiket tidak mampu menutupi biaya bunga dan operasional. Misalnya di 2024, penjualan tiket tercatat 6,06 juta tiket, dengan pendapatan kotor sekitar Rp 1,5 triliun jauh dari cukup untuk membayar utang dan bunga.
Beban BUMN & Tanggung Jawab Negara
Karena KCIC adalah konsorsium antara BUMN dan China, beban utang itu sebagian harus ditanggung oleh KAI dan BUMN Indonesia. Jika tidak ada perbaikan, beban itu bisa merembet ke pembukuan perusahaan dan memicu restrukturisasi utang.
Negosiasi Ulang & Skema Kepemilikan yang Belum Jelas
Saat ini diberitakan Menteri BUMN akan menegosiasi ulang beban biaya KAI dalam proyek ini, termasuk kepemilikan fasilitas pendukung agar menjadi milik pemerintah Indonesia.

Kesimpulan & Catatan Purbaya
Pernyataan Purbaya “Mereka yang korup kok saya yang mikirin” adalah sindiran terhadap pejabat yang korup dan melempar beban publik ke pihak tak bersalah. Namun, ketika proyek ambisius seperti kereta cepat membawa risiko finansial luar biasa, publik berhak tahu: siapa yang memang harus berpikir keras dan bertanggung jawab? Ini Uang Negara harusnya buat Investasi yang lebih profitable bukan kaya maen slot receh mudah menang.
Proyek yang hasilnya baik untuk infrastruktur negeri bisa berubah menjadi beban besar jika perencanaan, pengawasan, dan akuntabilitas lemah. Utang senilai Rp 116 triliun, beban bunga Rp 2 triliun per tahun, serta risiko kerugian operasional jauh di atas pendapatan menunjukkan bahwa beban pikiran itu memang harus dipikul bukan oleh rakyat semata, namun oleh mereka yang memimpin, mengawasi, dan menyetujui proyek ini.