## 30 Tahun Tragedi Lapangan Tiananmen: Ketika Harapan Reformasi Berakhir dalam Darah
Tiga puluh tahun telah berlalu sejak Lapangan Tiananmen di Beijing menjadi saksi bisu tragedi berdarah yang mengguncang dunia. Pada Juni 1989, demonstrasi mahasiswa yang menuntut reformasi politik dan kebebasan berekspresi dihancurkan secara brutal oleh pemerintah Komunis Tiongkok, meninggalkan luka mendalam yang hingga kini masih terasa. Peristiwa ini menghasilkan salah satu citra ikonik abad ke-20: seorang pengunjuk rasa tegar yang berdiri menantang barisan tank militer yang menggulung menuju Lapangan Tiananmen. Gambar tersebut menjadi simbol perlawanan terhadap otoritarianisme dan menjadi pengingat akan harga yang harus dibayar untuk kebebasan.
Dekad sebelumnya, Tiongkok tengah mengalami transformasi ekonomi yang signifikan di bawah kepemimpinan Deng Xiaoping. Pembukaan ekonomi, yang meliputi pengizinan perusahaan swasta dan investasi asing, bertujuan untuk membangkitkan perekonomian dan meningkatkan standar hidup rakyat. Namun, upaya ini ternodai oleh maraknya korupsi, sementara di sisi lain, memicu harapan akan reformasi politik yang lebih besar. Kemajuan ekonomi yang pesat tidak diiringi dengan pembaruan sistem politik yang demokratis. Hal ini menciptakan ketimpangan dan memicu ketidakpuasan di berbagai lapisan masyarakat.
Partai Komunis Tiongkok sendiri terbelah. Terdapat perdebatan sengit antara kelompok reformis yang menginginkan perubahan lebih cepat dan kelompok garis keras yang ngotot mempertahankan kontrol ketat negara. Munculnya demonstrasi mahasiswa di pertengahan 1980-an menjadi pertanda awal gelombang protes yang akan datang. Para demonstran ini, banyak di antaranya yang pernah tinggal di luar negeri, terpapar ide-ide baru dan standar hidup yang lebih tinggi di negara-negara lain, sehingga semakin memperkuat tuntutan mereka akan perubahan.
Puncaknya terjadi pada musim semi 1989. Kematian Hu Yaobang, seorang politisi reformis yang mendukung perubahan ekonomi dan politik, memicu gelombang protes besar-besaran. Hu Yaobang, yang disingkirkan dari jabatan pentingnya oleh lawan politiknya dua tahun sebelumnya, menjadi simbol perjuangan untuk reformasi. Ribuan orang berduka cita di pemakamannya, menyuarakan tuntutan akan kebebasan berekspresi dan penolakan terhadap sensor pemerintah.
Protes kemudian berlanjut dan meluas ke Lapangan Tiananmen, pusat simbolis kekuasaan di Tiongkok, yang terletak dekat dengan Makam Mao Zedong dan Aula Besar Rakyat. Jumlah demonstran membengkak hingga diperkirakan mencapai satu juta orang. Awalnya, pemerintah tampak ragu-ragu untuk mengambil tindakan keras. Terdapat perdebatan internal di antara petinggi partai, sebagian menginginkan kompromi, sementara sebagian lagi bersikeras pada tindakan tegas. Namun, akhirnya kelompok garis keras menguasai situasi.
Pada akhir Mei, status darurat militer diberlakukan di Beijing. Pada tanggal 3 dan 4 Juni, pasukan pemerintah melancarkan serangan brutal terhadap para pengunjuk rasa di Lapangan Tiananmen. Tembakan senjata api menggema di seluruh lapangan, menewaskan dan melukai banyak orang. Para pengunjuk rasa dihancurkan tanpa ampun. Keesokan harinya, sebuah gambar yang tak terlupakan tertangkap kamera: seorang pria tunggal, dengan dua kantong belanja di tangan, berdiri tegar menghalangi laju barisan tank. Identitas dan nasib pria tersebut hingga kini masih menjadi misteri, namun citranya abadi sebagai simbol perlawanan yang gigih.
Jumlah korban tewas hingga kini masih diperdebatkan. Pemerintah Tiongkok secara resmi menyatakan hanya 200 warga sipil dan beberapa lusin anggota pasukan keamanan yang tewas. Namun, berbagai perkiraan lain menyebutkan angka yang jauh lebih tinggi, dari ratusan hingga ribuan orang. Dokumen-dokumen rahasia yang dirilis pada tahun 2017 bahkan menyebutkan angka mencapai 10.000 korban jiwa.
Peristiwa Lapangan Tiananmen merupakan topik yang sangat sensitif di Tiongkok. Sebutan, foto, dan video terkait peristiwa tersebut secara rutin dihapus dari internet dan dikontrol ketat oleh pemerintah. Generasi muda Tiongkok, yang tak mengalami peristiwa tersebut secara langsung, hanya memiliki sedikit akses informasi tentang tragedi berdarah ini. Peristiwa ini menjadi pengingat akan pentingnya kebebasan berekspresi, hak asasi manusia, dan harga yang harus dibayar untuk mencapai demokrasi. Tragedi Lapangan Tiananmen tetap menjadi catatan kelam dalam sejarah Tiongkok modern dan dunia, sebuah peringatan akan bahaya otoritarianisme dan pentingnya memperjuangkan keadilan dan hak-hak fundamental.