## Polemik Tunjangan Rumah Anggota DPR Rp50 Juta Per Bulan: Boros dan Tak Sepadan dengan Kinerja?
Tunjangan rumah anggota DPR sebesar Rp50 juta per bulan kembali menjadi sorotan publik. Angka fantastis ini, ditambah gaji pokok dan tunjangan lainnya, membuat pendapatan resmi para wakil rakyat mencapai lebih dari Rp100 juta setiap bulannya. Kenaikan ini, yang terungkap melalui pernyataan anggota Komisi I DPR, TB Hasanuddin, menimbulkan gelombang kritik tajam dari berbagai pihak, terutama di tengah kesulitan ekonomi yang tengah dialami masyarakat luas.
Hasanuddin sendiri, saat menanggapi pertanyaan seputar sulitnya mencari penghasilan halal di parlemen, menyatakan menerima penghasilan tersebut dengan bersyukur. Ia menekankan bahwa dirinya hanya penerima, bukan penentu besaran tunjangan. Namun, pernyataan ini justru semakin memperkeruh suasana dan memicu pertanyaan publik terkait transparansi dan etika dalam pengelolaan anggaran negara.
Sekretaris Jenderal DPR, Indra Iskandar, menjelaskan bahwa perbedaan penerimaan anggota DPR periode sekarang dengan periode sebelumnya (2019-2024) disebabkan oleh adanya tunjangan rumah tersebut sebagai pengganti fasilitas rumah dinas. Kebijakan ini, tertuang dalam Surat Setjen DPR Nomor B/733/RT.01/09/2024, mendapat penolakan luas karena dinilai berlebihan dan tidak mencerminkan kondisi ekonomi rakyat. Alasan kebutuhan tempat tinggal dekat Gedung DPR juga dianggap lemah, mengingat kehadiran anggota DPR di parlemen seringkali tidak maksimal, sehingga proses legislasi kerap mengalami kendala dan jalan di tempat.
Indonesia Corruption Watch (ICW) bahkan menghitung potensi pemborosan anggaran yang mencapai Rp1,74 triliun akibat kebijakan tunjangan rumah ini. Perhitungan tersebut didasarkan pada angka Rp50 juta per bulan dikali 60 bulan masa jabatan dan 580 anggota DPR. Angka ini sungguh memprihatinkan, terutama mengingat pemerintah tengah mengklaim melakukan efisiensi anggaran di berbagai sektor. Egi Primayogha dari ICW menekankan perlunya DPR mempertimbangkan aspek etika publik dan mempertanyakan kepatutan pengeluaran anggaran triliunan rupiah untuk tunjangan rumah di tengah kondisi ekonomi masyarakat yang semakin berat.
Kondisi ekonomi masyarakat memang sedang jauh dari ideal. Kenaikan harga bahan pokok, khususnya beras, menjadi salah satu indikatornya. Data Badan Pangan Nasional (Bapanas) pada 18 Agustus menunjukkan harga beras premium rata-rata mencapai Rp16.088/kg, sementara beras medium mencapai Rp14.260/kg. Kenaikan ini terjadi di tengah rencana kenaikan tarif PPN dari 11% menjadi 12% dan kenaikan drastis pajak bumi dan bangunan (PBB) di beberapa daerah. Situasi semakin diperparah dengan peningkatan angka pekerja yang mengalami Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) pada semester I tahun 2025, yang mencapai 42.385 orang—meningkat 32,19% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.
Egi Primayogha mendesak agar Surat Setjen DPR terkait tunjangan rumah tersebut dicabut, mengingat tidak sepantasnya kebijakan tersebut dikeluarkan di tengah kesulitan ekonomi yang dialami masyarakat luas. Ia juga mempertanyakan kepatutan berbagai tunjangan lain yang diterima anggota DPR, seperti tunjangan beras, yang menurutnya perlu dievaluasi kembali. Sebelum adanya tambahan tunjangan perumahan, total tunjangan yang diterima anggota DPR sudah terbilang besar, yang meliputi tunjangan melekat anggota DPR dan tunjangan lain anggota DPR (sesuai Surat Edaran Setjen DPR RI No.KU.00/9414/DPR RI/XII/2010 dan Surat Menteri Keuangan nomor S-520/MK.02/2015), belum termasuk gaji pokok yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 75 Tahun 2000. Jika dijumlahkan, seorang anggota DPR dapat menerima setidaknya Rp54.051.903 per bulan, belum termasuk tunjangan rumah, uang perjalanan dinas, dan dana ke daerah pemilihan (dahulu dikenal sebagai dana aspirasi).
Ironisnya, gaji dan tunjangan yang besar ini tidak sebanding dengan kinerja DPR yang dinilai buruk. Lucius Karus dari Formappi menyebut tunjangan tersebut sebagai “bahasa politik dari istilah subsidi,” menunjukkan betapa besarnya subsidi negara kepada anggota DPR yang berbanding terbalik dengan kinerja mereka. Klaim Ketua DPR Puan Maharani terkait capaian kinerja DPR, seperti menerima dan menindaklanjuti ribuan laporan masyarakat serta merampungkan beberapa RUU, diragukan kebenarannya, mengingat sejumlah RUU menuai kontroversi karena minimnya partisipasi publik, bahkan dibahas secara tertutup di hotel mewah.
Lucius juga mengkritik kreativitas DPR dalam menciptakan jenis tunjangan baru, seperti tunjangan reses, tunjangan komunikasi intensif, dan tunjangan kunjungan kerja. Ia menegaskan bahwa tunjangan-tunjangan ini lebih terlihat sebagai strategi untuk menambah pendapatan, bukan sebagai insentif kinerja. Bahkan, dana aspirasi yang besar pun tidak menjamin aspirasi warga terakomodasi dengan baik.
Rendahnya kepercayaan publik terhadap DPR, hanya 69% menurut Survei Indikator Politik Indonesia (Januari 2025), menjadi bukti nyata atas kinerja yang mengecewakan. Kondisi rumah dinas DPR di Kalibata dan Ulujami yang rusak dan memerlukan renovasi besar juga dipertanyakan, menimbulkan dugaan bahwa kebijakan tunjangan rumah ini dirancang untuk menghindari biaya revitalisasi yang besar. Meskipun Sekretaris Jenderal DPR menjelaskan bahwa pembahasan dan penetapan besaran tunjangan dilakukan dengan mengacu pada pedoman dari Kementerian Keuangan dan tunjangan anggota DPRD Jakarta, justifikasi ini tetap menuai kritik tajam dari berbagai kalangan.
Kesimpulannya, polemik tunjangan rumah anggota DPR Rp50 juta per bulan menjadi cerminan besarnya kesenjangan antara wakil rakyat dan rakyat yang diwakilinya. Transparansi, akuntabilitas, dan etika dalam pengelolaan anggaran negara menjadi hal krusial yang perlu segera dibenahi untuk mencegah pemborosan dan memastikan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Perlu kajian mendalam dan evaluasi menyeluruh terkait sistem penggajian dan tunjangan anggota DPR agar lebih adil, transparan, dan sejalan dengan kinerja yang diharapkan.